Donasi Digital, Potensi Baru Penggalangan Dana
Sejak pandemi COVID-19 melanda, semua sektor terpukul keras. Bahkan, selama beberapa dekade kemajuan yang dicapai dalam pengentasan kemiskinan, peningkatan standar kesehatan, serta akses pendidikan, seolah lenyap dalam sekejap.
Namun, di saat yang sama, banyak komunitas filantropi dan donasi digital yang bermunculan. Kegiatan sosial seperti ini menjadi semakin penting dalam mengatasi berbagai isu dan kebutuhan mendesak di Indonesia.
Terlepas dari, beberapa oknum yang membuat konten-konten di media sosial berkedok kegiatan sosial hanya demi ketenaran dan popularitas pribadi. Namun, banyak orang Indonesia yang secara tulus menyisihkan uangnya dan berpartisipasi dalam donasi digital.
Menurut World Giving Index (WGI) 2021, Indonesia adalah negara paling murah hati di seluruh planet. Orang Indonesia menjadi warga pemurah yang rela memberikan uangnya bagi orang lain yang membutuhkan.
Hal ini didukung data-data yang dimiliki oleh WGI sejak 2018. Saat itu, Indonesia masih menempati posisi nomor 2. Namun, selama pandemi COVID-19, Indonesia melejit sebesar 59% dalam indeks tahunan, dengan skor 69% di peringkat teratas posisi negara paling dermawan di muka bumi.
Penelitian tentang kedermawanan warga +62
Pada dasarnya, kedermawanan masyarakat Indonesia, sedikit banyak juga dipengaruhi oleh kultur adat ketimuran dan mayoritas pemeluk agama Islam. Di dalam agama Islam, memberikan donasi adalah suatu kebiasaan yang perlu diterapkan sedari dini, bahkan dilakukan setiap hari. Bahkan, pada saat tertentu di bulan Ramadhan, sedekah berupa zakat menjadi kewajiban.
Selama COVID-19, pemerintah membatasi aktivitas dan mobilitas warga, sehingga masyarakat Indonesia beralih ke model donasi digital melalui aplikasi atau platform online untuk menunjukkan solidaritas dan dukungan ke berbagai isu yang melanda tanah air.
Untuk memahami bagaimana trend donasi digital di era pandemi, Gopay bekerja sama dengan Kopernik, melakukan penelitian. Riset ini melibatkan 1.319 responden di 29 provinsi di Indonesia.
Secara umum, riset tentang peta ekosistem donasi digital di Indonesia menunjukkan bahwa secara keseluruhan, donasi digital maupun konvensional telah meningkat sebesar 20% selama pandemi. Sedangkan, rata-rata donasi digital meningkat 72% selama pandemi.
Lebih lanjut, penelitian tersebut menjumpai bahwa kaum milenial (usia 24-39 tahun) sebagai pendonor yang paling sering memberikan donasi digital. Rata-rata memberikan donasi sebanyak 1-2 kali per bulan.
Sementara, generasi X (usia 40-55 tahun), memberikan donasi dengan nilai yang terbanyak. Selama pandemi, masalah kesehatan dan sosial menjadi isu utama yang diperhatikan donatur. Masing-masing menyumbang 27% dan 28% dari total donasi.
Pandemi telah menyoroti potensi donasi digital untuk memobilitasi masyarakat. Terutama, generasi muda yang cenderung lebih paham teknologi. Sehingga, generasi muda dapat mengambil bagian dalam donasi digital.
Tak seperti penggalangan dana konvensional, inisiatif donasi digital biasanya disebarkan melalui kampanye media sosial seperti Instagram, Facebook, Whatsapp, dan lainnya. Tujuannya agar bisa menjangkau audiens lebih luas tanpa ada hambatan geografis dan bisa mengumpulkan dana lebih cepat dalam kondisi darurat.
Dengan kemajuan teknologi, orang bisa dengan mudah memberikan donasi memakai aplikasi seluler berbasis Cloud seperti aplikasi Mayar atau platform lainnya. Tanpa perlu keluar rumah, masyarakat memiliki kebebasan untuk memilih sendiri berapa jumlah donasi yang mau diberikan saat memakai sistem pembayaran digital atau donasi digital.
Trend donasi online akan semakin berkembang pesat.
Masyarakat modern semakin cerdas. Mereka bisa lebih mudah mengetahui, mana penggalangan dana yang jujur dan tidak. Maka itu, aplikasi donasi digital hadir sebagai pemain kunci dalam menjembatani antara donatur dan kebutuhan darurat.
Bukan hanya urusan sedekah, zakat yang menjadi kewajiban bagi umat Muslim selama beberapa dekade ini juga semakin meningkat. Menurut Lembaga Amil Zakat (LAZ), nilai sumbangan atau donasi digital sejak 2020, mencapai Rp 233 Triliun (US $ 16,6 miliar). Sedangkan, dari nilai zakat mencapai Rp 8 triliun.
Data tersebut membuktikan bahwa ada peluang besar bagi donasi digital untuk mendukung lembaga keagamaan, lembaga sosial, yayasan, lembaga non profit, atau panti asuhan, dll.
Sekalipun trend donasi digital semakin berkembang pesat. Penelitian juga menemukan adanya 24% responden yang masih enggan berdonasi digital. Kenapa mereka tidak mau bersedekah? Alasannya ada beberapa macam, di antaranya:
- Kurang pengetahuan dalam platform donasi digital alias gaptek.
- Kurangnya transparansi data kemana donasi akan dipakai.
Jadi, kalau penggalangan dana benar-benar transparan untuk informasi kemana uang akan dialokasikan, sebagian besar responden mau menyumbangkan uangnya.
Kenapa sih orang Indonesia itu rata-rata dermawan?
Hal ini bukan isapan jempol. Sebab, dari laporan WGI pada tahun 2021, Indonesia menempati posisi puncak sebagai negara paling dermawan di tengah pandemi. Sebagian besar negara barat yang biasanya menempati 10 besar WGI, telah turun peringkat sejak dilanda krisis ekonomi.
Contohnya, seperti Amerika Serikat turun ke peringkat 19 dunia, padahal sebelumnya selalu ada di peringkat 5 besar. Sedangkan, Irlandia, Inggris, dan Singapura turun dari peringkat 5 dan 6 menjadi 26 dan 22.
Alasan Indonesia menjadi negara paling dermawan:
Ada beberapa alasan kenapa Indonesia berhasil meraih posisi teratas sebagai bangsa yang dermawan. Berikut di antaranya:
1. Pengaruh agama dan kultural.
Alasan pertama yang sangat jelas terlihat adalah pengaruh ajaran agama dan tradisi lokal terkait saling berbagi dan tolong menolong sesama di Indonesia.
Menurut laporan WGI (World Giving Index), sumbangan atau donasi berbasis agama seperti zakat, infaq, dan sedekah adalah pendorong utama kegiatan filantropi di Indonesia.
2. Kondisi ekonomi yang lebih stabil.
Harus diakui, kondisi perekonomian Indonesia memang terdampak di sektor ekonomi. Namun, tidak separah negara-negara lainnya. Daya beli masyarakat dan kemampuan untuk bersedekah masyarakat Indonesia masih relatif stabil.
WGI mencatat bahwa beberapa negara yang salah menerapkan kebijakan penanganan pandemi mengalami penurunan donasi karena dampak krisis ekonomi.
3. Beralih ke platform digital.
Indonesia termasuk negara yang sukses mendorong transformasi penggalangan dana konvensional ke digital. Berbagai kendala penggalangan dana selama pandemi akibat pembatasan mobilitas dan aktivitas, telah diatasi melalui platform digital.
Jadi, peraturan PPKM tidak berpengaruh pada kegiatan donasi. Terjadi, peningkatan jumlah donasi digital, terutama di masa pandemi.
4. Partisipasi generasi muda.
Peningkatan peran dan keterlibatan pemuda dalam kegiatan donasi sangat besar. Kebanyakan adalah generasi milenial, generasi Z, dan para influencer media sosial.
Keterlibatan ini didukung platform media sosial dan saluran komunikasi untuk menjangkau lebih banyak audiens, terutama kaum muda.
Donasi digital di Indonesia perlu dioptimalkan.
Di tengah trend donasi digital yang semakin populer, masih ada pekerjaan rumah yang perlu dibenahi untuk memajukan filantropi Indonesia.
Potensi mobilisasi penggalangan dana di Indonesia masih belum optimal. Karena, sumbangan masyarakat masih banyak melalui sistem pemberian langsung dan belum terorganisir.
Kebanyakan orang lebih suka langsung memberikan donasi ke penerima ketimbang melalui organisasi sosial. Sumbangan untuk kegiatan amal dan bakti sosial juga sangat dominan, daripada program jangka panjang. Misalnya pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, pelestarian lingkungan, dll.
Selain itu, perkembangan donasi di Indonesia belum didukung data yang memadai. Pasalnya, pemerintah atau pemangku kepentingan tidak memiliki kesadaran pentingnya data filantropi.
Ironisnya, kegiatan sukarelawan atau kegiatan amal kadang belum didukung dan dilindungi oleh pemerintah. Banyak relawan yang bekerja tanpa peralatan memadai dan tidak ada jaminan sosial.
Sebagai contoh, sukarelawan yang ikut membantu dalam penanggulangan bencana alam atau COVID-19, sama sekali tidak mendapatkan jaminan sosial atau mungkin upah memadai sebagai ucapan terima kasih dari negara.
Yang menyedihkan, relawan dan aktivitas kemanusiaan bahkan tidak diprioritaskan mendapatkan vaksinasi. Di masa pandemi, ribuan relawan dan pekerja kemanusiaan langsung turun membantu masyarakat meski dengan risiko terpapar COVID-19.
Tantangan donasi dan filantropi di Indonesia.
Alih-alih mendukung kegiatan donasi, sedekah, atau aktivitas filantropi, pemerintah justru menciptakan regulasi atau peraturan tentang kegiatan filantropi dan insentif pajak yang tidak mendukung. Bahkan, cenderung menghambat.
Peraturan terkait filantropi sudah ketinggalan zaman, kurang apresiatif, dan cenderung membatasi kegiatan donasi.
Sementara itu, kebijakan insentif pajak di Indonesia yang biasanya mendorong kegiatan donasi, tertinggal dari negara lain. Kebijakan tersebut tidak mendorong individu atau korporasi agar semakin banyak berdonasi.
Sebab, adanya keterbatasan ruang lingkup, jumlahnya kecil, serta tidak adanya kejelasan dalam penerapan. Pada gilirannya, masyarakat malah jadi enggan mengakses insentif pajak saat berdonasi.
Padahal di seluruh dunia, Indonesia telah diakui sebagai negara yang paling dermawan seantero planet. Harapannya, pemerintah dapat mendukung dan menggerakkan sektor filantropi sebagai sumber daya pembangunan nasional.
Dukungan Mayar untuk Kegiatan Filantropi di Indonesia
Mayar sebagai salah satu aplikasi pembayaran modern sangat mendukung kegiatan penggalangan dana atau pengumpulan dana secara digital. Dengan Mayar, Anda bisa membuat website penggalangan dana. Termasuk, Link Donasi, atau bahkan kode QR agar semakin mudah mengumpulkan dana untuk berbagai program amal dan kebutuhan mendesak lainnya.
Lihat contoh-contoh Kampanye Penggalangan Dana dengan Mayar berikut: