Headless Commerce: Evolusi Penjualan Online Kekinian
Karena pandemi COVID-19, dunia transaksi pembelian pelanggan telah berubah secara signifikan di segala aspek. Mulai dari cara konsumen berinteraksi, hingga bagaimana brand muncul di berbagai platform.
Headless commerce adalah jawaban untuk adaptasi di lingkungan bisnis digital yang dinamis dan berkembang pesat. Sehingga, brand bisa dengan cepat memenuhi kebutuhan dan permintaan pelanggan yang fleksibel.
Headless commerce menjadi topik dunia e-niaga global yang semakin menggema. Tetapi, apakah headless commerce benar-benar menjadi solusi untuk usaha Anda?
Pernahkah Anda mendengar istilah “Headless Commerce”?
Headless Commerce atau perdagangan tanpa kepala ini sesuai namanya memang memisahkan (headless) antara front-end dan back-end toko online Anda. Front-end adalah antarmuka yang ditata indah untuk ditampilkan di browser. Sedangkan, back-end adalah fungsi-fungsi di belakang layar untuk memfasilitasi penjualan.
Dengan headless commerce atau headless online store, kedua sisi (frontend dan backend) akan terpisah dan bekerja secara independen satu sama lain. Keduanya, hanya berkomunikasi melalui API (Application Programmer Interfaces).
Bagaimana, sudah mulai memahami konsep dasar Headless Commerce atau Headless Online store? Sekarang, mari lanjutkan membaca terus untuk mencari tau selengkapnya tentang Headless Commerce.
Kenapa harus menerapkan Headless Commerce/ Headless Online Store?
Hasil dari pemisahan antara frontend dan backend akan menghasilkan pengalaman belanja yang lebih cepat, gesit, mudah disesuaikan, serta memanjakan pelanggan.
Sementara itu, backend juga tetap berfungsi sebagaimana mestinya tanpa ditambatkan ke platform front-end atau “head” toko online Anda.
Pemisahan atau “headlessness” ini akan memberikan fleksibilitas lebih besar pada brand langsung ke konsumen. Jika platform ecommerce biasa mungkin dibatasi oleh desain dan fungsionalitas, maka headless online store memberikan bisnis lebih banyak kebebasan menyesuaikan frontend atau tampilan toko online.
Apa contoh penerapan Headless Commerce?
Sebagai gambaran, coba lihat contoh headless commerce dari website Groove Life ini. Menerapkan konsep headless online store, Groove Life tampil lebih intuitif, loading cepat, dan menciptakan etalase produk yang unik.
Kecepatan situs Groove Life tidak perlu ditanyakan lagi, hanya cukup sekali klik, pengalaman belanja tanpa batas didukung pembayaran praktis serta update stok barang yang nyaman.
Contoh headless commerce lainnya yang terkenal adalah Shopify. Anda bisa cepat membuat toko online, dilengkapi fitur pembayaran, aktivasi member, data pelanggan, dan lainnya.
Developer atau pebisnis bisa memakai API untuk posting blog, update stok, upload gambar produk, atau mengirimkan ulasan pelanggan/ testimoni, dengan perangkat seluler maupun desktop.
Jadi, pada dasarnya, headless commerce membantu manajemen atau pengelolaan toko online yang sistematis, real time, dan yang terpenting sangat sesuai dengan era IoT (Internet of Things).
Gimana sih cara kerja headless commerce?
Sama seperti CMS (Content Management System), headless commerce bekerja dengan meneruskan instruksi antara frontend dan backend melalui API.
Contohnya yang paling mudah, katakanlah Rudi mengklik tombol “Beli Sekarang” pada toko online baju lewat smartphonenya. Selanjutnya, headless commerce akan mengirimkan panggilan API ke aplikasi untuk memproses pesanan. Lalu, aplikasi akan mengolah request yang masuk untuk menunjukkan status pesanan pelanggan.
Headless commerce vs commerce biasa.
Dari sekilas pembahasan di atas, apakah Anda masih bingung? Coba simak dulu yuk, perbedaan antara headless commerce dan toko online biasa. Terdapat tiga perbedaan mendasar, antara lain:
1. Pengembangan front-end yang fleksibel.
Developer front-end yang ada pada sistem toko online tradisional, biasanya menghadapi sejumlah masalah dalam hal desain dan proses keseluruhan. Setiap perubahan yang dibuat membutuhkan banyak waktu untuk mengedit database, syntax/ kode, dan juga bagian platform front-end.
Sementara, headless commerce memisahkan frontend dan backend. Jadi, developer bisa bebas menciptakan pengalaman pengguna yang sesuai kebutuhan bisnis. Developer front-end tidak perlu repot memodifikasi database di backend, karena yang harus dilakukan hanyalah membuat panggilan API sederhana.
2. Kustomisasi dan personalisasi.
Toko online biasa dilengkapi pengalaman yang sudah ditentukan atau satu paket di bagian tampilan depan dan admin page. Tetapi, kalau headless commerce, karena tidak ada frontend, developer bebas menentukan sendiri pengalaman pengguna yang diinginkan sejak awal.
Tampilan website dan admin page, mudah disesuaikan dengan kebutuhan bisnis Anda.
3. Fleksibilitas dan kemampuan beradaptasi.
Frontend toko online digabungkan dengan code dan infrastruktur backend. Fleksibilitasnya sangat kecil, bahkan tidak ada. Untuk membuat modifikasi, developer harus bekerja ekstra selama berhari-hari. Karena, harus mengedit syntax atau bagian coding frontend sampai database di backend.
Kalau headless commerce, frontend dan backend sudah dipisah. Ini berarti, fleksibilitas atau modifikasi keduanya juga lebih mudah. Untuk membuat perubahan seperti checkout atau fitur lainnya, developer bebas memodifikasi.
3 platform headless commerce yang bisa dipakai.
Headless commerce kini hadir dalam berbagai platform yang mudah, cepat, dan modern. Menawarkan API yang memfasilitasi marketer atau pebisnis dalam membuat eCommerce yang menarik, responsif, dan intuitif. Berikut di antaranya:
1. Magento 2.
Pengguna Magento 2 bisa memanfaatkan API Magento. Tetapi, harus bergantung pada CMS pihak ketiga untuk mengelola konten dalam jumlah dan skala besar.
2. Shopify Plus.
Sudah disinggung di atas, Shopify Plus juga menawarkan akses ke API yang bisa mengeksplorasi informasi produk ke sistem pihak ketiga. Namun, integrasikan dengan CMS agar bisa mengelola konten lebih mudah.
3. WooCommerce.
WooCommerce sudah dilengkapi kemampuan RestAPI yang banyak. Jadi, kalau ingin membuat headless commerce akan sangat memungkinkan. Bagian admin dan frontend terpisah, Anda bebas memodifikasi sesuai keperluan.
Bagaimana headless commerce mendukung ritel omnichannel?
Konsep tentang “ritel omnichannel” berarti bahwa para pembeli bisa memakai platform online untuk berbelanja online dan offline, di perangkat apapun, kapan pun, di manapun.
Sebab, tujuan utama platform headless commerce adalah menawarkan pengalaman belanja yang mulus di seluruh saluran pemasaran. Platform ini menjadi bagian penting dari tujuan ritel omnichannel.
Studi pada 2017 oleh Harvard Business Review tentang ritel omnichannel, melibatkan sekitar lebih dari 46.000 pembeli. Studi ini melaporkan bahwa pembeli akan berbelanja lebih banyak dengan memakai saluran omnichannel, ketimbang hanya belanja di satu saluran pemasaran.
Selain itu, pembeli yang memakai aplikasi atau saluran online, juga membeli lebih banyak dari toko fisik atau toko cabang, ketimbang pembeli yang hanya memakai satu saluran pemasaran.
Sebagai contoh, toko furnitur Made.com, menerapkan strategi pemasaran omnichannel ke dalam showroom di London. Pelanggan bisa memakai tablet untuk memindai label harga produk furniture untuk membuat keranjang belanja.
Lalu, keranjang atau daftar belanja ini bisa dikirimkan ke email masing-masing pengguna. Made.com bisa mengelola data daftar belanja ini untuk mengirimkan pelanggan promo atau diskon menarik agar pelanggan segera checkout dan membayar keranjang belanjanya.
Tantangan headless commerce.
Meski terdengar menguntungkan dan memberikan banyak kemudahan, headless commerce juga hadir dengan banyak tantangan besar bagi perusahaan. Antara lain:
1. Membutuhkan banyak sumber daya.
Headless commerce melibatkan struktur berbasis backend yang tidak memiliki satu front end. Sangat penting bagi developer untuk memiliki tim yang berpengalaman untuk membangun dan memelihara setiap saluran pemasaran baru.
2. Biaya cenderung tinggi.
Headless commerce membutuhkan biaya-biaya tertentu. Selain itu, ada waktu yang dihabiskan untuk mengembangkan dan menerapkan headless commerce. Biaya ini mencakup jasa developer website, desain, maintenance, dll.
3. Tidak ada pratinjau/ preview.
Karena tidak ada template frontend, Anda tidak bisa melihat seperti apa tampilan desain jika ada perubahan baru sebelum diimplementasikan. Hal ini akan menyulitkan tim pemasaran yang bergantung ke tim IT.
Jadi, haruskah toko online Anda beralih ke headless commerce?
Jika Anda merasa pengaturan eCommerce Anda saat ini membatasi kemampuan untuk menghadirkan pengalaman pelanggan yang lebih “wow” lagi, headless commerce adalah jawaban idealnya.
Bagaimana cara memulai headless commerce? Cobalah untuk bermitra dengan penyedia frontend as-a-service untuk menghadirkan kemudahan dalam mendesain ulang arsitektur eCommerce dan gunakan Platform Commerce yang menawarkan Headless Commerce API seperti Mayar.ID (https://mayar.id/headless-commerce).
Saat menyelesaikan transisi ke headless commerce, Anda akan menawarkan pembeli pengalaman belanja sangat cepat, konversi tinggi, dan meningkatkan branding sebagai keunggulan bisnis dalam persaingan dunia usaha.
Pelanggan akan mudah mengingat pengalaman belanja yang luar biasa. Sedangkan, tim atau karyawan Anda juga menghargai fleksibilitas toko online Anda. Tentunya, segala manfaat ini akan turut melejitkan pendapatan dan omset toko online Anda ke level selanjutnya.